Sabtu, 26 Januari 2013

Kejadian Di Malam Hari


Winda mencet-mencet remote televisi dengan kesal. Sudah berkali-kali dia mengganti channel tapi belum juga menemukan acara yang disukainya. Suasana hati Winda memang sedang muram hari-hari ini. Dia bosan harus menonton acara-acara membosankan sepanjang hari, dia kesal seharian terpaksa menatap layar hitam-putih dan dia juga marah karena terkurung di rumah tua yang mengerikan itu.

            Winda mulai stress dan marah kepada semua orang. Dia marah kepada Neneknya yang tidak punya hiburan lain di rumahnya selain majalah terbitan sebelas tahun yang lalu dan TV rongsokan yang sudah tua, bobrok dan banyak semutnya. Dia marah kepada ibunya karena telah memaksakannya untuk tinggal di rumah neneknya yang bernama Euis. Dan dia juga marah kepada teman-temannya yang telah meninggalkannya di tempat itu sementara mereka semua berlibur ke pulau Bali.

            Semua pikiran itu bercampur aduk di dalam otaknya sehingga membuat kepalanya terasa mau meledak. Bayangkan, setelah bergulat dengan sederet ujian yang melelahkan, dia terpaksa menghabiskan seluruh masa liburannya di tempat itu. di rumah neneknya yang terletak di kompleks perumahan paling membosankan yang pernah Winda lihat seumur hidupnya.

            Tidak banyak yang bisa dilakukan di tempat itu. sejak tadi Winda menghabiskan waktunya dengan tidur, makan, nonton TV dan tidur lagi sampai akhirnya dia terbangun sore harinya dan mulai berkeliling kompleks. Tapi perumahan itu seperti kota mati. Suasana begitu sunyi karena sebagaian besar rumah di sekitar situ kosong. Sedangkan rumah yang berpenghuni sama sepinya dengan kuburan. Semua pintu dan jendela ditutup rapat-rapat seolah takut terkena virus, hampir tidak ada yang keluar rumah, tidak ada remaja seusianya yang bisa diajak bermain dan tak ada tanda-tanda kehidupan yang tampak di daerah tersebut.

            Akhirnya Winda pulang lagi ke rumah Nenek Euis dan mulai membaca majalah kadaluarsa yang dicetak sebelas tahun yang lalu. Setelah itu dia kembali menyetel televisi sampai sekarang. Sampai muak.
***

            Saat itu dia sedang duduk sendirian di ruang tamu sementara Nenek Euis lenyap dari pandangan. Winda tahu bahwa beliau sedang keluyuran mencari kucing Persianya yang belum pulang sejak tadi pagi. Sejak suaminya meninggal tiga tahun yang lalu, nenek Euis memang tinggal sendirian di tempat itu. Maka dari itu, dia membeli seekor kucing yang diberi nama Cathy untuk menemaninya.

            Sebenarnya Winda juga sayang kepada neneknya meskipun beliau memang agak membosankan dan ketinggaan zaman. Tapi dia merasa di perlakukan tidak adil oleh Ibunya. Setiap kali liburan sekolah, dia tidak bisa ke mana-mana. Dia selalu dipaksa tinggal di tempat itu agar Nenenknya tidak kesepian. Sepanjang waktu dia harus terperangkap di sana bersama rasa iri yang mendalam ketika membayangkan teman-temannya yang berlibur dan bersenang-senang di tempat-tempat yang indah.

            Winda akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan mematikan TV. Sambil menguap, dia mengayunkan kakinya keluar rumah. Malam itu cukup terang meskipun sebagian besar lampu jalanan mati. Winda menduga itu pasti di sebabkan oleh cahaya bulan purnama dari langit yang bertabur bintang. Winda memutuskan untuk berkeliling komplek lagi sambil menikmati cahaya bulan.

            Dia melangkah keluar rumah dan menghirup dalam-dalam udara malam yang sejuk. Tepat seperti dugaannya, perumahan itu masih tampak sepi seperti tadi sore. Namun Winda tidak mengacuhkannya. Kebetulan dia memang butuh ketenangan untuk meredakan amarahnya.           

            Tanpa terasa, Winda telah berada di ujung komplek perumahan. Di situ terlihat sebuah rumah berukuran sedang yang lampunya masih menyala, menandakan bahwa tempat itu berpenghuni. Tidak seperti rumah-rumah di sekelilingnya yang gelap dan sunyi, dari rumah itu terdengar suara-suara sehingga Winda tertarik untuk berhenti sejenak dan menguping.

            "Ngapain dia di sini?" terdengar suara seorang wanita.

            Winda memperhatikan bayangan-bayangan gelap dari jendela. Tampaknya ada dua orang yang sedang berdiri menghalangi cahaya lampu sehingga dari luar terlihat sebagai sepasang sosok gelap di balik jendela bergorden kuning yang besar dan lebar itu. ditilik dari gelagatnya, Winda bisa menebak bahwa mereka berdua adalah sepasang suami istri.

            "Cepat pergi dari sini atau kamu akan celaka!" bentak si suami.

            Dan tepat setelah si suami mengatakan itu, terdengar suara gaduh yang merupakan campuran dari gonggongan anjing, jeritan si istri, omelan si suami beserta bunyi barang-barang pecah. Jantung Winda mencelos ketika menyadari bahwa pasangan itu tengah mengeroyok sesuatu atau seseorang yang tampak dari bayangannya, tengah tersungkur dan berguling-guling di lamtai. Dia mendekap mulutnya yang hampir menjerit ketika melihat bayangan si suami memukul sosok yang berada di lantai dengan sebuah tongkat. Dan dia makin bertambah kaget begitu melihat bayangan si istri mengangkat sebuah pisau di tangan kanannya. Meskipun tampaknya dia hanya menggertak karena sedari tadi pisau itu cuma diacung-acungkan.

            Beberapa saat kemudian suara gaduh itu mereda. Winda tidak berani beranjak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya membeku karena shock.

            "Dia mati, Indra!" pekiki si istri, kedengarannya sangat ketakutan. Tapi Winda jauh lebih takut daripadanya. Dia baru saja menyaksikan pembunuhan...

            "Apa yang harus kita lakukan, Maya? Mereka pasti akan menuntut kita!" sahut pasangannya, Indra yang sama ngerinya.

            "Tapi kita enggak punya uang? Gimana kalau kita dijebloskan ke penjara?"

            Winda membatu di tempatnya. Apakah ini benar-benar nyata? Atau hanya imajaninasinya karena terlalu banyak nonton sinetron? Dia mendekati rumah itu perlahan-lahan untuk memastikan.

            "Lebih baik kita kubur saja mayatnya di halaman belakang," usul Indra, "Orang-orang enggak akan tahu hal ini."

            Tidak terdengar jawaban dari istrinya namun Winda bisa melihat bayangan mereka menyeret sosok terkapar di lantai kemudian suasana sepi kembali. Bayangan mereka telah menghilang dari pandangan. Saat itu pikiran Winda benar-benar kacau balau. Apa yang harus ia lakukan? Lapor polisi? Bagaimana kalau polisi tidak percaya padanya?

            Winda memberanikan diri untuk memasuki halaman depan rumah mereka. Dia mengendap-ngendap menuju jendela dan berusaha untuk membukanya. Untungnya jendela itu tidak terkunci sehingga bisa dibuka dengan mudah. Dia menyingkap gorden berwarna kuning berdebu dan langsung menjerit tertahan.

            Ada darah. Darah di mana-mana. Winda nyaris pingsan melihat pemandangan mengerikan itu. jantungnya terasa mau copot begitu Winda memandang bercak-bercak merah yang menodai hampir seluruh ruangan. Dia berusaha untuk menguasai dan mengamati tempat itu lagi. Menurut Winda ruangan itu adalah ruang tamu karena di sana terdapat sekumpulan sofa tua berwarna cokelat yang mengelilingi sebuah meja kaca. Sebuah tongkat baseball berlumuran darah tergelatk sembarangan di lantai. Dan di sudut ruangan, seekor anjing bulldog terbaring pingsan, mungkin dia terkena pukulan tadi, tapi tampaknya anjing itu tidak terluka parah. Darah itu bukan berasal dari tubuhnya.

            Winda melesat kembali ke rumah Neneknya scepat kilat. Tanpa mengacuhkan Nenek Euis yang sedang berdiri di depan pintu, Winda langsung berlari ke kamarnya dan langsung menelepon polisi.

            "Halo, kantor polisi?" tanya Winda, masih terengah-engah karena habis berlari, "Nama saya Winda, saya baru saja melihat pembunuhan."

            "Pembunuhan?" tanya polisi yang menjawab teleponnya.

            "Iya, pokoknya cepetan datang ke sini!" kata Winda setengah membentak karena si polisi kedengarannya akan meminta cerita lengkap dan segala tetek bengeknya.

            Winda memberi  alamat lengkap rumah Nenek Euis karena dia tidak tahu alamat lengkap tetangganya itu sehingga bertekad mengantarkan para polisi langsung ke tempat kejadian begitu mereka ke rumah Neneknya.
***

            Dia menunggu kedatangan mereka dengan gelisah. Sudah berulang kali Winda mondar-mandir di kamarnya dengan pikiran kacau.

            "Gimana kalau polisi itu enggak datang?" gumamnya kepada diri sendiri, "Gimana kalau para pembunuh itu dendam sama gue terus setelah keluar dari penjara, mereka juga bunuh gue? Mama, Winda mau pulang!" Bunyi sirine polisi menyadarkan Winda dari lamunannya. Dia bergegas keluar  rumah untuk menemui mereka. Tapi sialnya, Nenek Euis telah mendahuluinya. Begitu Winda sampai di ambang pintu, Neneknya sedang berdebat seru dengan tiga orang polisi.

            "Di sini enggak ada pembunuhan!" Nenek Euis berkata tegas kepada para polisi.

            "Ada, Nek," sela Winda sehingga Nenek Euis tercengang. Winda tidak menghiraukannya dan langsung berpaling ke arah polisi, "Rumahnya enggak jauh dari sini. Ayo saya antar."
***

            Winda menceritakan bagaimana kronologis kejadiannya sepanjang perjalanan sampai mereka berlima akhirnya tiba di depan tempat tinggal pasangan Indra dan Maya. Salah satu polisi mengetuk pintu dan beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka, memperlihatkan wajah pasangan Indra dan Maya yang langsung pucat begitu melihat tamu-tamunya.

            "Maaf, Bapak Indra, "kata seorang polisi yang tadi berdebat dengan Nenek Euis, "Boleh saya masuk dan menggeledah rumah Bapak? Saya baru saja mendapatkan informasi bahwa telah terjadi pembunuhan di sini."

            Tanpa menunggu jawaban, polisi itu langsung menyeruak masuk kedalam. Winda, Nenek Euis dan kedua polisi yang lain mengikutinya dari belakang. Noda-noda darah sudah lenyap begitu Winda memasuki ruang tamu. Mereka pasti sudah membersihkannya.

            "Mereka kubur mayatnya di halaman belakang, Pak, "Winda memberanikan diri memberi  informasi.

            Pasangan suami istri itu makin bertambah gugup.

            "Saya bisa jelaskan semua ini, Pak," seru Indra tanpa basa-basi.

            Polisi pemimpin itu mengeluarkan pistol dan menodongkannya ke arah mereka berdua. Indra dan Maya langsung mengangkat kedua tangan mereka. Pasangan itu tampaknya menjadi bisu mendadak saking takutnya. Mereka langsung menurut untuk memimpin kelompok itu menuju bagian belakang rumah.

            Begitu mereka tiba di taman kecil yang hanya ditumbuhi rumput liar itu, Polisi pemimpin kembali memerintahkan mereka untuk menunjukkan tubuh korbannya. Indra mulai menggali tanah di bagian sudut taman yang tidak ditumbuhi rumput dengan sekop yang tergeletak sembarangan di atas rumput. Tak lama kemudian dia berhenti menggali dan mengeluarkan sebuah bungkusan putih dari dalam tanah. Para polisi bertukar  pandang kebingungan. Bagaimana mungkin mayat manusia bisa sekecil ini? Apa mungkin tubuhnya telah dimutilasi menjadi beberapa bagian?

            Indra membuka kain putih yang berlumur tanah itu dan Nenek Euis langsung menjerit;

            "Cathy!"

            Winda terkesiap kaget. Mengapa cuma ada bangkai kucing di situ?

            "Kok cuma bangkai kucing?" salah satu polisi yang sejak tadi terdiam akhirnya membuka mulut, "Bukannya Winda melihat kalian membunuh orang?"

            "Siapa bilang kami membunuh orang?" tanya Maya, tampak sangat tersinggung, "Kucing ini nyelonong masuk ke rumah dan langsung digigit sama anjing kami."

            "Saya sudah coba pukul anjing kami supaya enggak menggigit lagi tapi kucing itu sudah terlanjur mati, "timpal Indra berang, "Kucing luar negeri itu kan mahal, saya takut disuruh ganti rugi. Jadi saya langsung kubur saja bangkainnya."

            Sekarang giliran Winda yang menjadi bisu mendadak. Bagaimana mungkin dia bisa setolol itu? menarik kesimpulan dari bayangan-bayangan yang tidak jelas bentuknya? Kini semua orang memandangnya dengan kesal.

            "WINDA!" mereka berteriak serempak.

            Yang diteriaki langsung kabur dan berlari kembali ke kamarnya. Mengunci pintu, menjatuhkan diri ke atas kasur dan bersembunyi di balik selimut.

            Maluuuuuuu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar