Keluargaku pindah ke
Virrenschoa beberapa hari yang lalu. Kata ibu, aku perlu berkeliling
Virrenschoa. Namun ia, ayah atau pun kakak tidak bisa menemaniku karena mereka
sibuk beres-beres di rumah. Karena itu aku akhirnya jalan-jalan sendiri.
Virrenschoa cukup kecil sehingga aku tidak perlu khawatir akan tersesat,
walaupun aku baru tinggal di sini beberapa hari.
Virrenschoa adalah kota
kecil yang indah. Di Virrenschoa, semua sarana umum hanya ada satu; satu
sekolah di setiap tingkatan, satu toko roti, satu toko buku, satu komplek kecil
pasar tradisional, satu pasukan petugas keamanan dan lain-lain. Jalan-jalannya
terdiri dari batu-batu heksagonal, yang di celah-celahnya kadang-kadang ditumbuhi
rumput, bahkan bunga liar kecil. Bangunan-bangunannya tidak ada yang
betul-betul besar atau kecil dan tidak ada gedung yang sama bentuk serta
warnanya, dengan banyak bunga yang berbeda jenis yang menghiasinya. Penduduk
Virrenschoa mengenal dengan baik satu sama lain.
Aku sampai di bagian
paling barat Virrenschoa, tempat padang rumput luas yang di tengahnya berdiri
sebuah pohon oak yang besar. Kulihat ada beberapa orang anak di sana.
Aku pun berjalan mendekati mereka. Mereka bisa saja jadi teman-teman baruku di
kota ini. Semakin dekat aku berjalan, aku melihat dengan lebih jelas ada 3
orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Semakin dekat lagi aku
menyadari bahwa anak-anak laki-laki itu tidak berteman dengan si gadis kecil.
Mereka malah menjahatinya.
Aku segera berlari untuk
menolong gadis kecil itu. Ketika aku hampir sampai, ketiga anak laki-laki itu
berlari meninggalkan gadis kecil itu dalam kondisi rambut dan pakaian kusut.
Dia gadis yang manis, dengan baju terusan berwarna merah yang bagian bawahnya
mengembang dan dihiasi pita-pita. Lalu sepatunya yang berwarna merah marun dan
kaus kaki rendanya. Rambutnya yang ikal cantik berwarna cokelat gelap.
Aku menghampiri si gadis
kecil yang sedang merapikan penampilannya. Aku mendengar ia mengomel. Tentang
betapa kesalnya dia pada anak-anak laki-laki itu, yang menjahili dan
memalakinya hampir setiap hari. Ia mengoceh pada dirinya sendiri tanpa
menyadari bahwa aku sudah berdiri tepat di depannya. Ketika mengangkat kepala,
ia langsung terdiam. Dia memandangiku dengan sedikit kaget dan wajah memerah
karena malu. Akhirnya aku memutuskan untuk memulai perkenalan.
"Hai! Aku Anthony
Hutchkins. Aku baru beberapa hari tinggal di kota ini. Kau tahu Nyonya Wanda
Turner? Dia nenekku. Boleh aku tahu siapa namamu? Aku harap kamu baik-baik
saja."
Dia diam sebentar, lalu
memperkenalkan diri dengan senyum ramah, "Namaku Annabelle Maryta. Senang
berkenalan denganmu. Dan, yah, aku baik-baik saja," Kami bersalaman. Lalu
kami membicarakan banyak hal dan Annabelle menjadi teman pertamaku di
Virrenschoa.
***
Kira-kira sudah lima kali aku menemui Annabelle di tempat yang sama. Kami
berdua cukup akrab walaupun ternyata Annabelle anak yang pendiam. Aku sudah
tahu bahwa orangtuanya memiliki toko permata dan rumahnya adalah rumah paling
besar dan cantik di kota ini. Namun ayah dan ibunya sudah meninggal 5 tahun
yang lalu, sehingga ia tinggal bersama paman dan bibinya yang juga mengurus
toko permata Marytas' Diamond. Selain itu, sudah lima kali juga aku menemukan
Annabelle melakukan hal yang sama; duduk di bawah pohon oak yang
teduh sambil menulis puisi. Puisi-puisinya cukup bagus dan isinya fantasi. Di
antaranya Gadis yang Terbang, Keluarga Awan, dan Tarian Bunga Dandellion. Tapi
menurutku anak seumuran Annabelle harusnya bermain, bukannya menulis puisi
sepanjang hari.
"Kenapa kau tidak pernah bermain bersama teman-temanmu yang lain?"
tanyaku.
Dia memandang ke depan sejenak. Lalu berkata, "Aku tidak pernah
benar-benar punya teman, lagipula..." Annabelle diam sejenak. "Bibi
tidak mengizinkanku bermain dengan anak-anak lain. Kata bibi jika aku bermain,
bibi akan memecat semua pelayan di rumah dan aku yang akan mengerjakan semua
pekerjaan rumah. Aku juga harus belajar selama tepat tiga jam sebelum makan
malam. Jika tidak, aku tidak diberi makan malam. Sementara paman, satu-satunya
hal yang ia pedulikan selain istrinya adalah uang," tuturnya panjang
lebar. Lalu ia melanjutkan lagi. "Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya,
kalau aku memberitahukan ini padamu."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Malang sekali nasib Annabelle. Pasti paman
dan bibinya adalah pasangan jahat yang ingin menguasai harta peninggalan orang
tua Annabelle dan sekarang mereka mau menyiksa Annabelle secara pelan-pelan
dulu.
Suatu ketika aku
mendapatkan ide bagus agar Annabelle bisa bermain tanpa takut dimarahi bibinya.
"Kau tidak perlu khawatir bibimu akan tahu. Kita bisa bermain di sini,
atau di tempat tersembunyi lain, seperti sungai di bagian paling utara atau di
kaki gunung di bagian paling timur Virrenschoa. Di sana aman dan tidak banyak
orang, kan? Jika kau takut bajumu kotor, kau bisa melapisinya dengan jubah
bekas kakakku dan pakai saja sepatu boots ini. Setuju?"
Maka di minggu-minggu berikutnya, aku mengajak Annabelle melakukan banyak hal.
Kami bermain layang-layang, menangkap serangga, memancing, memetik buah beri
dan banyak lagi. Selama bermain denganku, aku tidak pernah lagi melihat
Annabelle dipalak oleh tiga anak nakal itu. Dia jadi terlihat lebih ceria
dan...hidup. Kami menjadi sahabat yang tak terpisahkan.
Suatu hari, sekelompok anak laki-laki bermain kriket di padang rumput. Mereka
adalah teman-temanku dan mereka memang sering bermain. Biasanya, hanya aku yang
ikut bermain sedangkan Annabelle hanya akan melihat kami dari bawah
pohon oak. Namun kali ini, aku membujuknya untuk ikut bermain. Annabelle
setuju, namun anak-anak itu menolaknya.
"Tidak bisa. Anak perempuan mana bisa main kriket. Ini bukan
main-main," tegas Bertied, salah satu dari anak-anak itu. Bukan main-main
apanya? Jelas-jelas mereka akan bermain kriket.
"Memangnya kenapa?" tukasku. Annabelle diam saja di belakangku.
"Jangan-jangan kalian takut dikalahkan oleh perempuan."
"Tentu saja tidak. Apa kau gila?" sahut Rikko, anak lainnya.
"Kalau begitu biarkanlah dia bermain. Aku berjanji dia akan berhenti jika
permainannya buruk."
Mereka diam sejenak. Yah, sebenarnya mereka cukup lama berbisik-bisik untuk
memutuskannya. Lalu... "Baiklah, Pegang kata-katamu. Aku bertaruh ia tidak
akan pernah memukul bola," ledek Bertied, disambut dengan tawa mengejek
dari anak-anak lain.
Permainan dimulai. Seorang anak laki-laki melempar bola, seorang lagi
memukulnya, lalu berlari bolak-balik. Sangat seru. Hingga ketika giliran
Annabelle memukul, timku sedikit grogi sedangkan tim lawan tersenyam-senyum
sombong. Mereka begitu terkejut ketika Annabelle berhasil memukul cukup jauh,
hingga mereka tercengang beberapa detik, yang menguntungkan tim kami. Permainan
berakhir dengan tim kami menang.
***
Suatu hari, aku dan Annabelle merasa tidak ingin bermain yang memerlukan
aktivitas fisik. Jadi kami memutuskan untuk bermain kartu dengan taruhan
sejumlah apel yang semuanya milikku, di bawah pohon oak kesayangan
kami. Kami tidak mempertaruhkan bekal, karena bekal Annabelle selalu sedikit
dan tidak terlalu enak.
Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras. Hari memang mendung. Aku dan Annabelle
segera berdiri di dekat pohon oak. Pohon itu memang berhasil melindungi
kami dari hujan. Namun tiba-tiba saja petir menggelegar. Tentu saja berlindung
di bawah pohon sangat tidak aman, apalagi tidak ada pohon lain di padang rumput
ini. Maka kami segera beranjak pergi. Aku sudah berdiri di tengah hujan,
sedangkan Annabelle masih berusaha membuka payungnya. Payungnya macet dan tidak
kunjung terbuka. Jtarr.....! Petir kembali menggelegar. Sontak aku menarik
lengan Annabelle. Aku tidak mau mati gosong di padang rumput ini. Kami berlari
sekencang-kencangnya melintasi padang rumput yang luas itu.
Setelah lelah berlari-lari kami berteduh di emperan sebuah toko buku tua. Kami
berdiri berhimpitan dan menggigil. Tiba-tiba terdengar suara isakan. Ternyata
Annabelle menangis. Aku menanyakan apa masalahnya dan dia berkata.
"Aku akan mendapat masalah besar," ia sesenggukan. "Bibi sangat
tidak menyukai ini. Selama ini bibi juga diam saja melihat aku pulang terlambat
beberapa menit. Ia pasti curiga. Bibi lebih mengerikan ketika marah setelah
tidak mengacuhkanku cukup lama."
Annabelle tersedu-sedu lagi. Aku berusaha membujuk dan menenangkannya. Aku
merangkulnya dan mengelus-elus kepalanya.
Setelah hujannya reda aku mengantarkannya pulang sampai rumah. Tepat ketika
kami sampai di depan rumah Annabelle, bibinya membukakan pintu dengan ekspresi
datar. Ia sama sekali tidak tampak akan beramah tamah padaku. Annabelle naik ke
rumahnya sendiri, lalu aku berpamitan. Rasanya aku tidak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi pada Annabelle.
***
Kemana Annabelle? Aku tidak melihatnya di mana pun. Dia tidak ada di mana pun.
Tidak di sekolah, toko Marytas' Diamond, di padang rumput, sungai atau di
tempat-tempat lain. Aku sudah pergi ke hampir semua tempat kecuali rumahnya.
Sudah 2 minggu sejak terakhir kali aku melihatnya, sejak hari hujan itu.
Sekarang aku di gerbang rumah Annabelle. Aku tidak melihatnya. Besar
kemungkinan bibinya yang jahat itu mengurungnya di rumah. Aku mengetuk pintu
rumahnya dan menunggu seseorang membukakan pintu. Beberapa saat setelah itu,
seorang pelayan membukakan pintu. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya.
"Apakah Annabelle ada di rumah?" tanyaku.
"Maaf, Nak, ia baru saja pergi. Ada pesan atau titipan untuknya?"
Tanpa menjawab pertanyaan si pelayan aku bertanya lagi, "Apa kau yakin
Annabelle telah pergi?"
Pelayan itu mengernyit, lalu menjawab lagi. "Tentu saja. Kalau kau ingin
tahu ia ke mana, ia sedang ke pasar untuk membeli lobak. Ada lagi?"
Aku segera pamitan dan beranjak dari rumah itu.
Sesampainya di pasar yang padat, aku tidak bisa menemukan Annabelle. Cukup lama
aku mencari-cari hingga ingin kembali lagi ke rumah Annabelle karena merasa
telah ditipu, hingga akhirnya aku menemukan Annabelle. Tapi ia tidak sendiri,
melainkan dikelilingi oleh 3 anak nakal yang pernah memalaknya tempo hari. Aku
segera ke sana dengan setengah berlari.
Anak-anak nakal itu lagi-lagi memalak Annabelle. Mereka sampai merebut tas
belanja Annabelle dan melemparkan lobak-lobak yang ada di dalamnya. Aku tidak
tinggal diam dan mendatangi mereka.
Aku hendak menolong Annabelle, namun salah satu dari mereka menghalangiku
sambil berkata dengan keras, "Menjauhlah, Hutchkins! Kau tidak ada urusan
di sini!"
"Ya, pergilah!" seru yang satu lagi sambil mendorongku dengan keras
hingga aku jatuh terjerembab.
Orang-orang di pasar sempat melihat kami, namun tidak ada yang benar-benar
peduli. Mungkin mereka pikir ini hanya kenakalan anak-anak biasa dan belum
terlalu gawat. Annabelle melihat itu semua dengan pandangan marah. Tiba-tiba ia
berteriak, "Cukup!" dan terjadilah semuanya.
Ada sinar yang begitu terang memancar dari dada Annabelle. Semua orang di
sekitar situ mundur dengan mata menyipit. Tubuh Annabelle terangkat sedikit
demi sedikit ke langit. Sinar terang memancar dari seluruh tubuhnya, sementara
langit malah merubah menjadi lebih gelap. Lalu sepasang sayap indah yang
keperakan tumbuh di punggungnya. Sebuah puisi karangan Annabelle yang pernah
kubaca, berubah menjadi kenyataan.
kulihat tubuh itu melayang bebas ke atas..
dia tersenyum..
seperti terbebaskan dari beban yang ada
(gadis bersayap)
Ketiga anak jahat itu
menengadah kepada Annabelle dan mematung. Mereka benar-benar
membeku, seakan jiwa-jiwa mereka telah terhisap ke dalam sinar-sinar dari
tubuh Annabelle. Mereka terlihat kesakitan, namun juga kosong, sangat
mengerikan. Semua orang di sekitar taman juga membeku. Semuanya menengadah
dengan mata terbelalak, sebagian dengan mulut menganga. Mereka semua terlalu
terkejut untuk berteriak. Barang-barang yang mereka pegang terjatuh ke tanah.
Semua orang terpaku pada seorang gadis yang terbang, dengan sepasang sayap
seperti sayap kupu-kupu, namun jauh lebih besar dan indah.
Annabelle turun
perlahan-lahan dengan sinar-sinar indah dari tubuhnya yang berkilau-kilau.
Semua orang, dengan masih tekejut, mundur, membiarkan aku sendiri berdiri di
depan. Cahayanya sangat menyilaukan. Perlahan-lahan cahayanya meredup dan sosok
Annabelle terlihat dengan jelas di hadapanku.
"Anthony, aku tak
punya banyak waktu. Aku akan pergi ke tempat mereka. Mereka telah memberitahukannya,"
ia menunjuk ke arah langit. "Kau tidak akan melupakanku, kan?"
Hening sejenak. Entah
mengapa, aku tidak ingin bertanya apa pun, walaupun jelas sangat tidak jelas
apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasa sangat sedih. Namun aku seakan telah mengerti
semuanya, tanpa benar-benar mengetahuinya. Aku menyentuh sayap Annabelle yang
lembut, lalu membelai rambutnya, sambil menjawab, "Aku tak akan
melupakanmu, Ann. Bagaimana denganmu?"
"Aku tak mungkin
bisa melupakanmu. Aku sangat menyayangimu," Annabelle memelukku. Pelukan
pertama dan terakhir kami.
Setelah itu Annabelle
terbang dengan cahaya-cahaya yang memancar dari seluruh tubuhnya. Aku tidak
melepaskan pandanganku darinya, hingga ia menjadi titik kecil di langit, lalu
menghilang di balik awan. Setelah itu, langit kembali cerah dan semua orang
sadar. Orang-orang itu ribut, seseorang berteriak kami harus melihat rumah
keluarga Maryta. Semua orang berbondong-bondong ke sana. Pemandangan yang
sangat mengejutkan di rumah besar itu; rumahnya telah rata dengan tanah, yang
tersisa hanya puing-puing dan abu.
Seorang ibu berteriak
lagi mengajak kami mengecek toko Marytas' Diamond. Ketika semua orang sampai di
sana, lagi-lagi pemandangan mengejutkan; debu-debu berkilauan terbang memenuhi
toko dan semua permata hilang tak berbekas.