Mendung
seakan bersahabat dengan langit belakangan ini. Bumi hampir tak pernah
tersentuh sinar mentari. Titik air yang selalu membasahi bumi yang gersang,
meneduhkan sekaligus mengkhawatirkan penduduknya. Meneduhkan, karena sejatinya
hujan diturunkan sebagai renungan dari Sang Khalik buat makhluk-Nya.
Mengkhawatirkan, karena hujan kerap kali membawa kemacetan sebagai kawan. Tak
ada seorang pun yang merasa bebas dari ancaman pulang malam.
Termasuk aku, yang terus berkeluh kesah di bawah naungan halte bis ini. Sore
hari menunggu bis di halte bukanlah ide yang baik, namun hujan ini kian
memperparah perasaanku. Yang membuatku kesal, bukanlah titik-titik air yang
turun dari langit itu, melainkan kendaraan-kendaraan di hadapanku. Iri aku
melihat mereka yang bermobil mewah, bertambah dengki ketika dengan egoisnya
mereka menciptakan 'pola' baru di bajuku.
Saat aku tengah bersungut-sungut meratapi nasib, mataku tertumbuk pada
seseorang. Ia tersenyum dan menanyakan keadaanku. Aku baik-baik saja, kataku.
Ia tersenyum lagi.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Carina," jawabku.
"Rasi bintang," tukasnya gamblang.
"Ya, tidak banyak yang tahu namaku berasal dari rasi bintang,"
jawabku, jelas-jelas merasa senang dengan fakta itu.
"Ibuku mencintai bintang, sama seperti aku mencintai hujan,"
balasnya.
"Kalau begitu, mungkin kita tidak akan cocok, karena aku membenci
hujan," ujarku terus terang.
"Mengapa?" tanyanya. Matanya yang sipit terbelalak, mulutnya terbuka setengah.
Aku tertawa melihat ekspresinya. Di antara tawa, aku berujar getir, "Hujan
mengambil ayahku setahun lalu." Ekspresinya berubah, agak berduka.
"Maaf...kecelakaan?" tanyanya. Aku mengangguk lembut. Setelah itu,
tak ada diksi di antara kami, hujan sajalah yang mewarnai percakapan kami.
Tapi, itu bukan terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Keesokan harinya, aku
bertemu lagi dengannya. Ia menyandang kamera di pundak kanannya. Dan, hari itu
ketika aku bertemu dengannya, hujan kembali turun dari langit.
"Apa kau ini dewa hujan, heh? Mengapa setiap aku bertemu denganmu, selalu
diiringi dengan hujan?" seruku bercanda.
Dia tertawa, kemudian berkata, "Aku lahir bersama hujan, dan kemana pun
aku pergi selalu hujan, aku lelaki yang membawa hujan."
Aku tersenyum, menggodanya, "Mereka selalu bilang, orang yang lahir
bersama hujan adalah orang yang pelit," kataku.
"Aku tidak!" bantahnya.
"Benarkah?" tanyaku lagi.
"Aku akan ke sana, akan kubelikan kau segelas cokelat hangat!"
katanya mencari pembuktian, jarinya menunjuk ke bangunan kedai kopi ternama.
Dengan geli aku mengikutinya. Saat ia menyerahkan gelas itu kepadaku, aku
tergelak. Dia menatapku, bingung.
"Kau itu benar-benar seperti keponakanku saja!" seruku. Ia cemberut.
Aku mencubit pipinya "Kyeopta*," seruku spontan.
Ia menempelkan tanganku di pipinya, agak lama, hingga membuatku canggung. Aku
tak bisa berkata-kata dan akhirnya aku mengalihkan pembicaraan.
"Bisnya sudah datang, aku pulang dulu," seruku. Ia kembali tersenyum,
"Menghindar?" tanyanya. Matanya berkilat nakal dan menggoda .
"Menghindar dari apa?" seruku berpura-pura polos.
"Dari ini...." ia menggantung kalimatnya,lalu menatapku dalam.
Tanpa kusadari pipiku memerah, dan saat itu juga, tangannya bergerak mencubit
pipiku. "Kyeopta," serunya. Kini ganti aku yang cemberut, ia tertawa.
"Sudah, pulang sana, nanti terlalu malam sampai
rumah," katanya lagi.
"Ne, ahjusshi**," seruku seraya menjulurkan lidah dan bergegas
pergi dari kafe itu. Sempat kutangkap langkah kakinya dan senyum khasnya dari
sudut mataku, sebelum aku naik bis.
Sejak saat itu, aku selalu bertemu dengannya di bawah naungan halte. Kami
mengobrol tentang banyak hal, aku menemukan sisi lain dirinya yang tak pernah
kutemukan sebelumnya. Dia, seseorang yang hingga saat ini belum kutahu namanya,
adalah seorang pemikir yang lihai mengambil keputusan. Karakternya mantap, jika
dia berkata 'Ya' terhadap sesuatu,dia akan menjalankannya dengan
sungguh-sungguh, tapi jika dia telah mengatakan 'Tidak' pada sesuatu, dia tidak
akan pernah menyesali keputusannya itu.
Tipe cowok idealku.
Tunggu!
Kenapa aku bilang begitu tentangnya? Aku dan dia hanya
sahabat, dia adalah orang yang senang kuajak bertukar pikiran. Dia bijak, dan
aku memang mengharapkan kebijakannya itu. Di samping itu, dia menghilangkan
ketakutanku terhadap hujan. Dulu, sebelum keberadaannya, aku selalu mendesah
saat hujan turun, teringat kenangan buruk yang mengambil nyawa ayahku dulu.
Sekarang, dengan keberadaannya, aku merasa senang bila hujan turun. Karena dia
ada setiap hujan turun. Dia adalah matahari pribadiku, yang menyinariku di saat
mendung menutupi matahari yang lain.
Dan hari itu, aku kembali menemuinya di halte reyot itu. Ia menyampirkan Nikon
andalannya dia pundak. Aku melirik kameranya itu. "Mau memotret apa?"
tanyaku.
"Bintang," jawabnya gamblang. "Langit malam, tepatnya, karena
aku tak mungkin memotret bintang dengan benda ini," katanya seraya
menepuk-nepuk kamera andalannya. Aku tertawa, lalu menghempaskan diri ke bangku
halte, duduk di sebelahnya. Ia menerawang langit.
"Mengapa kau sangat menyukai bintang? Tidakkah mereka itu ilusi? Terlihat
indah dari jauh, namun hanya merupakan kumpulan debu dan gas ketika
didekati?" tanyanya.
Aku menghela nafas-pertanda aku ingin bicara serius.
"Pertama karena namaku-Carina, berasal dari rasi bintang. Sama sepertimu
yang terlahir saat hujan, aku merasa istimewa karenanya. Kedua, benar, bintang
adalah ilusi, tetapi, dengan ilusinya bintang dapat membuat seisi bumi
terpukau, tidakkah itu hebat?" aku mengakhiri argumenku. Aku menatap awan
yang mulai bertengkar.
"Bagaimana denganmu? Tidakkah hujan menunjukkan kesedihan, airmata yang
turun dari langit?"
Ia tersenyum. "Hujan memiliki dua sisi, sama seperti mata pedang,
melambangkan kesenangan, tetapi juga melambangkan kesedihan.Tetapi,
sesungguhnya, hujan diturunkan untuk menenangkan hati manusia, meneduhkan
pikirannya, menghapus kenangan buruk darinya, karena setelah hujan, hadirlah
pelangi. Sama seperti hidup ini, setelah ada tantangan yang rumit, tawa bahagia
menanti di belakangnya," ia menutup argumen puitisnya itu.
Keheningan kembali menyelimuti. Masing-masing dari kami memikirkan argumen yang
lain. Aku duduk di bangku halte dan dia mematung di bawah naungan atapnya.
Waktu berdetak, dan kecipak genangan air tiba-tiba membuyarkan lamunan kami.
Aku menoleh, mengamati anak-anak kecil yang bermain di genangan air. Ia menoleh
pada saat yang bersamaan, mengangguk ke arahku. "Lihat itu, itulah
kebahagiaan yang hadir setelah hujan, Carina," serunya tersenyum, merasa
menang.
Aku, yang tak ingin mengalah, berujar, "Mereka anak kecil, seorang anak
kecil selalu melihat sesuatu dengan penuh kekaguman, mereka tak mengerti apa
yang mereka lihat."
"Jika seorang anak kecil tak bisa bersikap dewasa, itu wajar. Yang tak
wajar adalah orang dewasa yang lupa dulu dirinya pernah menjadi anak kecil,"
ia menerawang. Aku mengenali kata-kata itu, Albus Dumbledore, batinku. Rupanya
pria pecinta hujan ini juga pecinta Harry Potter.
Waktu berdetak kembali, dan diksi akhirnya memecah bendungan sungai kebisuan.
"Alam mengajarkan kita begitu banyak hal," serunya, menatap ke langit
sore yang kembali mendung.
"Sejatinya, Tuhanlah yang mengajarkan kita, karena jagat raya ini adalah
kepunyaanNya, Dialah guru dari segala guru," balasku.
"Dan semakin banyak manusia belajar, semakin ia menyadari kebodohannya.
Bukan kata-kataku, Dan Brown yang punya," ia tersenyum samar, seolah
menyayangkan ketidakmampuan berpuisinya.
"Aku tahu," seruku singkat, mengakhiri percakapan kami.
Malam itu, ternyata adalah malam terakhir aku bersamanya. Sejak malam itu
hingga seterusnya, aku tak pernah lagi melihatnya. Di halte, di bis, di kedai
kopi, di mana-mana. Ia seolah menghilang bersama musim hujan. Aku terus menerus
mengharapkan hujan, berharap ia muncul bersamanya. Namun, ia tak pernah muncul.
Seolah menghilang bersama pudarnya musim hujan. Hujan tak sama lagi tanpanya.
Dialah lelaki yang membuatku mencintai hujan.
Dan, di sinilah aku berdiri kembali dipayungi halte reyot. Titik-titik hujan
kembali turun, dan memoriku tentangnya kembali bermain. Seiring dengan turunnya
hujan, aku tersenyum, teringat kata-katanya padaku di tempat ini dulu. Karena
aku meyakini satu ha : Meski kini dia tak lagi berada di sampingku, aku tahu,
dia berada di bawah langit yang sama denganku, menatap hujan ini dengan
tersenyum, sama seperti aku .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar